Sejak berlakunya UU Nomor 4 Tahun 1982,
kemudian diubah menjadi UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH), perhatian terhadap pencemaran lingkungan hidup akibat buangan
limbah industri pada umumnya termasuk limbah industri tekstil hampir tidak
pernah surut.
Beberapa
kasus pencemaran lingkungan hidup akibat buangan limbah industri tekstil,
misalnya kasus pencemaran sungai Simalungun (Medan), Kali Ciliwung (Tangerang),
sungai Cikijing, Rancaekek (Kabupaten Bandung), sungai Citarum (Bandung) dan
kasus lainnya, secara empirikal dipandang cukup mengganggu dan meresahkan
kehidupan masyarakat serta mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Air
sungai yang biasa digunakan masyarakat semakin menghadapi ancaman pencemaran
akibat buangan sisa-sisa bahan kimia dan kotoran lainnya.
Menghadapi realitas tersebut, pakar lingkungan
mengemukakan pula bahwa air sungai sekarang tidak dapat begitu saja digunakan,
mungkin tampaknya air itu masih bersih tetapi ternyata banyak mengandung
kotoran detergen, pestisida, kotoran manusia dan sisa-sisa bahan kimia lainnya
yang mengubah bau air itu (A. Tresna, 1991).
Berikut adalah beberapa hal penting yang
berkaitan dengan upaya preventif/pencegahan terhadap pencemaran limbah industri
tekstil antara lain :
1.
Karakteristik Limbah Industri Tekstil
Sebagaimana diketahui bahwa industri tekstil
nasional yang bergerak sebagai industri hilir dimulai dari industri pembuatan
benang (pemintalan), industri pembuatan kain (penenunan, perajutan), industri
penyempurnaan tekstil (finishing)
sampai industri pakaian jadi (garmen). Sedangkan industri pembuatan serat,
polimer tekstil, zat warna tekstil, dan zat kimia pembantu proses tekstil
lainnya merupakan industri hulu. Berikut adalah karakteristik limbah industri
tekstil yang dihasilkan oleh masing-masing industri tekstil tersebut, antara
lain :
a. Karakteristik
Limbah Industri Pemintalan (Pembuatan Benang). Limbah yang dihasilkan dari
tahapan proses pemintalan adalah debu dari serat pendek dan kebisingan yang
ditimbulkan oleh mesin.
b.
Karakteristik Limbah Industri Pembuatan Kain
(Penenunan, Perajutan). Limbah yang dikeluarkan adalah debu dan kebisingan,
tetapi pada proses penganjian benang yang menggunakan larutan kanji,
menghasilkan limbah cair yang berupa sisa larutan kanji yang telah digunakan.
c.
Karakteristik Limbah Industri Pakaian Jadi
(Garmen). Limbah yang dikeluarkan berupa limbah padat yang dapat dimanfaatkan
kembali.
d.
Karakteristik Limbah Industri Penyempurnaan
Tekstil (Finishing). Proses ini
merupakan penghasil limbah cair terbesar dari semua jenis proses pada industri
tekstil.
Berdasarkan karakteristik limbah industri
tekstil tersebut, mengidentifikasikan bahwa aktivitas industri tekstil pada
umumnya tetap menghasilkan limbah yang cukup variatif, baik itu limbah padat,
limbah debu, maupun limbah cair.
2.
Upaya-upaya
Pencegahan Pencemaran Limbah Industri Tekstil
Pencemaran lingkungan hidup akibat buangan
limbah industri tekstil disadari, bahwa cepat atau lambat mengganggu kehidupan
masyarakat dan dapat menurunkan kualitas lingkungan hidup secara
berkesinambungan.
Berlakunya UU Nomor 5 tahun 1984 (UU
Perindustrian) dapat disebut sebagai langkah srtategis-yuridis dalam mencegah
berbagai kemungkinan negatif timbul akibat aktivitas industri pada umumnya.
Bahkan, ketentuan Pasal 21 Ayat 6 (UU Perindustrian), menyebutkan bahwa :
“perusahaan
industri wajib melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam
serta pencegahan kerusakan sumber daya alam serta pencegahan kerusakan dan
penanggulangan pencemaran lingkungan hidup akibat kegiatsn industri yang
dilakukannya”.
Kehadiran
UU Perindustrian tersebut pada prinsipnya bertujuan untuk mencegah dan
menanggulangi pencemaran lingkungan hidup. Berikut adalah kajian terhadap
beberapa upaya pencegahan pencemaran limbah industri tekstil tersebut, antara
lain :
a. Penerapan
Teknologi dan Produk Bersih
Keuntungan
penerapan teknologi bersih sekaligus menghasilkan produk-produk bersih dalam
pandangan Clemens Mostert, salah satunya adalah meningkatkan daya saing
internasional dalam memberikan pengakuan bahwa produksi bersih dapat memberikan
kelebihan dalam inovasi.
Penerapan
teknologi bersih yang bertujuan untuk menghasilkan produk-produk yang bersih
dan ramah terhadap lingkungan dalam aktivitas industri tekstil, sesungguhnya
upaya aktualisasi pencegahan pencemaran limbah industri tersebut, sehingga
dampak negatifnya dapat tereliminasi dan produk bersih yang dihasilkan pun akan
lebih bersaing dalam merebut pangsa pasar, baik pasar dalam negeri maupun luar
negeripada era globalisasi ini.
Perwujudan
produk bersih tersebut dalam perspektif teoritis menurut R.E Soeriatmaja,
didasarkan pada 4 stategi berikut :
Pertama, merupakan upaya penerapan stategi
pencegahan yang berkelanjutan terhadap proses dan produk untuk mengurangi resiko
terhadap manusia dan lingkungan hidup serta sumber daya alamnya.
Kedua, merupakan upaya untuk menggarap
proses produksi dengan stategis yang meliputi pelestarian bahan mentah, energi,
menghilangkan pemakaian bahan berbahaya dan beracun (B3), dan pengurangan kadar
racun dari semua bentuk buangan dan limbah sebelum meninggalkan proses
produksi.
Ketiga, dalam proses menghasilkan produksi,
stategi produk bersih memusatkan perhatian pada upaya pengurangan dampak
lingkungan di seluruh daur suatu produk, mulai dari ekstraksi bahan mentah
sampai ke pembuangan limbah produk tersebut.
Keempat, meliputi upaya penguasaan teknik
pelaksanaan, penyempurnaan teknik yang telah ada, pengubahan sikap, pandangan
dan prilaku produsen.
Manfaat
yang utama adalah perbaikan mutu lingkungan hidup sebagai akibat berkurangnya
limbah dan bahan berbahaya dan beracun yang dibuang oleh
perusahaan-perusahaan industri tersebut,
sedangkan manfaat lainnya menurut Suma T. Djajadiningrat sebagai berikut:
Pertama, manfaat ekonomi.
Kedua, mengurangi potensi
tanggung jawab masa depan.
Ketiga, peningkatan kemampuan
daya saing.
Keempat, menghasilkan citra
positif di masyarakat.
b.
Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil
Kebutuhan
industri tekstil akan air sangat tinggi. Oleh karena itu, untuk mengurangi
kadar zat pencemar (polutan) pada air limbah industri tekstil menurut Noerati
Kemal, secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, antara lain :
Pertama,
mengurangi zat pencemar (polutan) yang dihasilkan. Upaya ini dapat dilakukan
dengan mengurangi volume air proses, berarti mengurangi volume air limbah,
penggunaan sisa zat-zat kimia, dan penggunaan zat kimia yang memberikan kadar
pencemaran rendah.
Kedua,
mengolah air limbah sebelum dibuang ke badan air penerimaan. Karena beragamnya
jenis dan ukuran polutan, pengolahan limbah cair industri tekstil memerlukan
tahapan proses pengolahan, yaitu pengolahan primer, berupa ekualisasi dan
netralisasi dan pengolahan sekunder untuk menghilangkan padatan dengan proses
kimia atau biologi.
Konsep
pengolahan limbah air industri tekstil yang ditunjukan untuk menghilangkan atau
menurunkan bahan pencemar dalam air limbah secara kimia, biologi dan fisika.
1)
Konsep pengolahan secara kimia, yaitu proses
pengendapan partikel kecil yang tercampur, termasuk logam-logam berat yang
terkandung dalam air limbah.
2)
Konsep pengolahan secara biologi, yaitu proses
untuk mengurangi bahan-bahan organik yang berkembang didalam limbah cair dengan
menggunakan lumpur aktif yang mengandung mikroorganisme didalamnya.
3)
Konsep pengolahan secara fisika, yaitu dengan
cara absorpsi bahan pencemar dengan karbon aktif.
c. Minimisasi
Limbah Cair Industri Tekstil
Upaya
mengurangi limbah dari sumbernya menurut skema yang bisa dipraktikkan mencakup
penghematan pemakaian air, penghematan pemakaian zat kimia, modifikasi proses
dan menjaga kebersihan pabrik. Berikut adalah uraian singkatnya, antara lain :
1)
Penghematan pemakaian air. Pada proses
penyempurnaan tekstil, air banyak digunakan banyak proses pencucian setalah
proses-proses persiapan, pencelupan, pencucian, dan peneympurnaan itu sendiri.
2)
Penghematan pemakaian zat kimia. Penghematan
pemakaian zat kimia ini dapat dilakuukan dengan meninjau kembali resep
persiapan penyempurnaan tekstil.
3)
Modifikasi proses. Modifikasi proses ini dilakukan
dengan tetap menggunakan mesin yang sudah ada tetapi dengan perubahan di
bagian, seperti proses serentak untuk persiapan penghilangan kanji (dezing), pemasakan (scouring), dan penggelantang (beaching)
menjadi satu proses sehingga mengurangi pemakaian air dan bahan kimia pembantu.
4)
Kebersihan pabrik. Kebersihan pabrik ini dapat
ditingkatkan dengan melakukan pengawasan terhadap setiap proses pengerjaan agar
tidak terjadi penumpahan zat-zat kimia dan pembuatan larutan yang berlebihan.
Upaya
minimisasi limbah cair industri tekstil dapat dilakukan pula dengan cara proses
daur ulang (recycling). Konsep daur
ulang ini pada prinsipnya mencakup upaya memanfaatkan, menggunakan serta
mengambil kembali bahan-bahan kimia dan energi yang terdapat dalam limbah cair
untuk keperluan proses produksi.
Berdasarkan
konsep daur ulang tersebut, menurut Elina Hasyim, pemanfaatan limbah cair
proses penyempurnaan tekstil dapat dilakukan melalui, antara lain:
1)
Penggunaan kembali (reuse) air pencuci, terutama sisa air pencuci setelah proses
persiapan penyempurnaan karena sisa itu tidak mengandung warna.
2)
Pengambilan kembali (recovery) dapat dilakukan dengan heat recovery limbah cair sisa proses pencelupan dan pengambilan
kembali polivinil alkohol.
Keberhasilan
upaya minimisasi limbah cair industri tekstil tersebut menurut Isminingsih Gitoparmodjo
dan Wiwin Winiati, sebenarnya erat hubungannya dengan penguasaan teknologi,
proses, struktur, dan sifat bahan, baik dilihat dari mutu hasil produksi dan
tinjauan ekonomi maupun karakteristik limbah selama dan sesudah proses
produksi, tetapi dengan perencanaan yang baik dapat diukur keberhasilannya,
antara lain:
1)
Peminimalan dan pengendalian limbah dan
penghematan penggunaan medium (air dan bahan pelarut).
2)
Penghindaran pemakaian bahan berbahaya dan
beracun (B3).
3)
Penghematan energi (uap, bahan bakar, dan
listrik).
4)
Pemilihan teknologi proses dengan pemilihan
mesin-mesin yang tepat guna dan upaya lainnya.
Upaya internal yang
dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan industri tekstil sesuai dengan kondisi
kemampuannya, adalah perencanaan proses produksi yang baik, akurat dan cermat
mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia pembantu yang rendah beban pencemaran,
pengontrolan pemakaian air yang hemat dan efisien, memanfaatkan dan menggunakan
kembali (reuse) bahan-bahan kimia
yang terdapat pada limbah cair untuk keperluan produksi. Semua upaya internal
ini secara substantif memiliki sinergitas dalam meminimisasi limbah, sehingga
semestinya menjadi landasan konseptual dan diaktualisasikannya dalam aktivitas
industri.
Sebaliknya, upaya
eksternal dalam minimisasi limbah yang dapat dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan industri tekstil, adalah upaya memantau limbah hasil
pasca proses kegiatan minimisasi limbah. Upaya pemantauan limbah secara rutin
dalam kegiatan industri akan membantu aktivitas pencegahan pencemaran limbah,
sehingga kualitas dan kuantitas pemantauan patut diperhatikan dengan cermat
sebagai sarana aktualisasi pencegahan pencemaran limbah industri tekstil.
Masyarakat luas pun
dapat melakukan upaya pemantauan untuk membantu pihak industri tekstil dalam
mencegah pencemaran limbah industrinya, meski dalam skala yang terbatas seperti
hanya memberikan masukan (input)
tanpa berperan aktif merumuskaan kebijakan-kebijakan teknis operasional untuk
kegiatan di lapangan.
Contoh Upaya Preventif / Pencegahan Pencemaran
Limbah Industri Tekstil
Limbah dari kawasan industri merupakan
salah satu sumber pencemaran air. Seiring dengan perkembangan teknologi limbah
tersebut juga bisa menjadi salah satu solusi dari krisis air bersih di sejumlah
kawasan di Indonesia. Untuk memutus salah satu mata rantai krisis air bersih,
sejumlah kalangan memandang perlu kehadiran langsung negara dalam pengelolaan
limbah cair kawasan industri sebagai bagian dari upaya penyediaan air bersih
bagi masyarakat yang menjadi tanggungjawab Negara.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang
energi dan pengolahan air, PT Energy Management Indonesia (EMI) mengklaim,
mampu mengelola air limbah termasuk yang memiliki kandungan Bahan Beracun dan
Berbahaya (B3) hingga menjadi air bersih yang sesuai standar kesehatan nasional
dan internasional.
Direktur Utama EMI Aris Yunanto
mengatakan, intervensi negara dalam hal ini BUMN dalam
pengelolaan limbah cair industri sebaiknya memang dilakukan sebagai bagian dari
pengawasan kualitas pengelolaan limbah cair. Dan juga dalam kerangka tindakan
pencegahan terjadinya pencemaran dan memastikan keberlangsungan daya dukung
lingkungan untuk seluruh warga Negara.
PT Energy Management Indonesia
memiliki sistem monitoring dan alat yang mampu mengukur kualitas dan kadar
kandungan zat dalam air di masing-masing saluran pembuangan. Jika kualitas air
tidak sesuai dengan baku mutu, maka alat akan menyalakan alarm sistem pemantauan
di pusat pantauan.
Dengan sistem yang dimiliki,
pemerintah tinggal menyiapkan unit-unit reaksi cepat untuk menangani area yang
terdampak polutan, dan sekaligus menangani perusahaan yang terindikasi
melakukan pencemaran lingkungan karena adanya pengelolaan air limbah yang tidak
sempurna. Perangkat tersebut juga dapat dipasang pada saluran-saluran yang
menuju ke sungai.
Sebagai contoh untuk kawasan industri
misalnya hanya diperlukan satu atau dua alat, tergantung saluran air yang
mengarah langsung ke sungai. Jika alat tersebut berbunyi maka bisa dipastikan
ada perusahaan di dalam kawasan industri tersebut yang melakukan pengolahan air
limbah secara sembarangan. Perangkat pemantau memungkinkan dimiliki dan
ditempatkan oleh Pemerintah langsung di kawasan industri dan titik-titik
pemantauan.
Selain terkait pemantauan, PT Energy
management Indonesia menyarankan agar kawasan industri di Indonesia mengoptimalkan
pengolahan limbah air dalam kawasan, karena hal itu dapat meminimalisir
kemungkinan masuknya air limbah belum diolah ke dalam aliran sungai.
Analisis
Berdasarkan contoh diatas, negara
melalui PT Energy Management Indonesia (EMI) sebagai Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) bidang energi dan pengolahan air mampu mengelola air limbah dengan
menggunakan sistem monitoring dan alat yang mampu mengukur kualitas dan kadar
kandungan zat dalam air di masing-masing saluran pembuangan. Apabila kualitas
air tidak sesuai dengan baku mutu, maka alat akan menyalakan alarm sistem pemantauan
di pusat pantauan.
Hal tersebut dapat membantu mengurangi
pencemaran air yang berasal dari limbah industri termasuk yang memiliki
kandungan Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) hingga menjadi air bersih yang
sesuai standar kesehatan nasional dan internasional. Mudah-mudahan setelah
sistem tersebut diterapkan, masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan industri
dapat mengurangi kekhawatiran mereka terhadap air sungai yang menjadi tempat
pembuangan limbah cair industri.
Sumber :
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/726670-kini-limbah-berbahaya-bisa-terdeteksi-dengan-alat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar